Jawaban Taufiq dan Indah saling melengkapi. Taufiq menyingkap kenyataan di balik motivasinya: kantor mewajibkan fungsional untuk menulis. Tapi dari kewajiban, lahir kebiasaan. “Kadang kita perlu sedikit dorongan dari luar,” katanya.
Sementara Indah menambahkan, “Kalau ide terlalu banyak, tulis yang paling dekat dulu. Jangan kejar sempurna di awal.”
Mereka sepakat bahwa gaya storytelling adalah kunci membuat tulisan hidup. Menulis bukan sekadar menyusun data, tapi menghidupkan kembali kejadian. “Baca artikel-artikel National Geographic,” ujar Taufiq, “di sana kita belajar bahwa data bisa disampaikan seperti kisah petualangan.”
Menjelang siang, sebagian peserta mulai pamit karena panggilan salat Dzuhur. Tapi masih ada lebih dari 200 orang yang bertahan. Diskusi semakin cair. Tanya-jawab bukan hanya soal menulis, tapi juga soal keberanian memulai.
Sudirman Sultan, Ketua Forsi LHK Sulsel, menutup sesi dengan suara yang tenang tapi penuh semangat. “Lusa, kita akan adakan sesi luring dengan narasumber lain. Jika semangat seperti ini terus ada, saya yakin, literasi lingkungan kita akan semakin kuat.” Ia menyebut kemungkinan pelatihan menulis buku sebagai kelanjutan. Tak lagi sekadar artikel atau berita, tapi narasi panjang yang merekam zaman.
Pagi itu, ruang Zoom bukan hanya tempat belajar. Ia menjadi ruang pengakuan, bahwa aparatur sipil yang bekerja untuk hutan dan lingkungan juga bisa menjadi penulis yang bersuara. Dan dari timur Indonesia, semangat itu menyala—melintasi layar, menembus batas-batas administratif, menjadi gema literasi yang terus bertumbuh.
Penulis: Taufiq Ismail (Staf Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung)